Senin, 06 Desember 2010

Harapan Usai Perang

“Bakso…bakso…bakso ayam, juga bakso tahu. Bakso…bakso,” begitulah saban hari syair yang dilantunkan Arif dengan becak keliling kampung. Suaranya keras, untuk menarik perhatian pembeli.

Pedagang Mie Bakso keliling, begitulah profesi yang disandang lelaki 49 tahun ini. Bernama lengkap Arif Surahman, aktivitas itu dilalui dengan berbagai suka maupun dukanya di Nagan Raya.

Tentu baginya mengenang masa lalu adalah pelajaran amat berharga. Saat Aceh dilanda konflik, kisah kehidupannya menarik. Pria paruh baya asal Solo, Jawa Tengah ini mengatakan tak mudah mencari peruntungan era konflik di Aceh. Pedagang kecil sepertinya tak luput dari tekanan pihak bertikai.

Ancaman bukan hasil bagi Arif.  Tapi dendam bagi kalangan etnis Jawa lah yang membuatnya tak tenteram. Hampir setiap hari pula dia menerima berbagai gunjingan dari masyarakat. Bahwa suku Jawa kerap menjadi mata-mata tentara.

Wajar saja jika kemudian dendam etnis itu membara dikalangan masyarakat. Tak ayal, masyarakat etnis Jawa yang tinggal di Aceh terusir. Sejumlah besar mereka terpaksa angkat kaki untuk lepas dari jeratan konflik.

Namun bukan bagi pria berkumis tebal ini. Baginya Aceh menjadi daerah kelahiran kedua. Dia telah tinggal di Aceh sejak tahun 1990 lalu. Kalaupun dia memaksa diri hengkang dari Tanah Rencong, tak jelas juga arah dan tujuan hidupnya. “ Daripada nggak tau kemana, lebih baik di Aceh dalam konflik. Toh, langkah, jodoh, dan maut telah diatur oleh Allah,” tuturnya.

Syukur masa itu telah terlewati. Masa suram itu menjadi kenangannya. 15 Agustus 2005 lalu, Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyepakati perjanjian damai untuk mengakhiri pertumpahan darah di Seuramoe Mekkah ini.

Dengan tertatih-tatih, mulailah bang Arif membenahi perekonomiannya. Bang Arif merasa senang dengan keadaannya sekarang.Aceh yang mulai kondusif membuat kehidupannya lebih baik.

Penghasilan pria ini pun lumayan, setidaknya untuk menghidupi seoarang istri dan dua orang anak yang masih bersekolah. Dibandingkan dengan masa berjualannya dahulu. Kini dia sudah memakai sepeda motor untuk keliling menjual bakso. Dia tak lagi mengayuh sepeda tuanya. “Saya berharap Aceh yang maju, Aceh terus aman, dan kita semua berharap seperti itu,” ujarnya.

Hal yang sama disampaikan Mar’ie, mahasiswa asal Medan kuliah di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. “Sepengetahuan saya, masyarakat diluar Aceh tidak berani menetap tinggal di sini, apalagi orang Jawa. Karena mereka kerap dikucilkan masyarakat,” ujarnya.

Lelaki ini menambahkan, bahwasannya cukup banyak masyarakat luar yang datang ke sini untuk melanjutkan pendidikan di Unsyiah. Saat damai hadir, banyak kawan-kawan dari luar daerah yang masuk ke Aceh menimbah ilmu. Merekapun tak meragukannya lagi, lagipula pendidikan Aceh berkembang dan meningkat beberapa tahun belakangan ini.

Lain lagi etnis pendatang, lain lagi masyarakat Aceh sendiri. Sebut saja seperti pengakuan Nyak Salamah yang keseharian menjadi penjual di pasar Keudah, Banda Aceh.

Nyak Salamah asli Cot Keueng, wilayah hitam yang dulunya kerap terjadi perang. Dulunya, dia tidak hanya berhadapan dengan TNI yang cukup menghardiknya kala memburu GAM. Namun dia juga harus berhadapan dengan GAM sendiri yang kerap meminta bantuan kepadanya. :”Pernah beberapa kali, saya diminta memberi bantuan kepada GAM.,” tutur perempuan yang sudah tampak keriput itu.

Pengakuannya kehidupan ekonominya tertatih-tatih saat konflik berlangsung. Karena sangat sulit untuk berjualan kala itu seperti kendala dirazia aparat keamanan, dicurigai membantu GAM dan lain sebagainya.

Kini damai menghadirkan berkah sendiri buat Nyak Salamah. Dia tak takut lagi dalam bekerja. “ Sekarang sangat berbeda, penghasilan yang saya juga lumayan besar.

“Semoga Aceh terus maju dan berkembang, supaya lebih baik lagi di masa akan datang, “ kata Nyak Salamah sambil tersenyum***

Misteri SMA Negeri 1

Bangunan itu tak seperti dulu lagi. Aslinya berwarna kuning, tapi kini dinding-dindingnya bercat abu-abu dan putih. Di depannya ada sebuah tugu dan tiang bendera tempat sangsaka merah putih berkibar setiap saat.

Gedung yang terletak di Jalan Prof. A. Majid Ibrahim I No.07  Banda Aceh ini kini dimanfaatkan menjadi ruang kelas Sekolah Menengah Atas Negeri 1 sejak Indonesia merdeka. Sekolah ini banyak melahirkan pemimpin dan tokoh penting di Aceh.

“Sudah 30 tahun saya tinggal sekolah ini, tak pernah ada hal aneh yang saya lihat,” tutur lelaki lanjut usia  itu sambil berjalan ke arah kantin.

Namanya Abdullah. Ia kini berusia 63 tahun. mempunyai seorang istri dan lima anak. Ia penjaga sekolah dan tinggal di tempat yang kini juga difungsikan sebagai kantin sekolah. Kesehariannya menjaga, membersihkan dan merawat bangunan yang berdiri sejak 1878 ini.

“Maaf saya tinggal, mau ngecek ruangan kelas dulu”

Ketika itu baru saja selesai aktivitas belajar mengajar sekitar pukul 13.30 WIB. Siswa-siswi berdesakan keriangan berjalan dan mengendarai motor menuju pintu keluar sekolah. Ada juga yang masih  menunggu jemputan dan mengikuti ekstrakurikuler.

“Menunggu siapa dek?”

“Menunggu Bapak penjaga sekolah ini bang”

“Oh, Bapak”

Ternyata, ia anaknya. Ia sedang menyapu kantin. Aku pun duduk menunggu Abdullah yang sedari tadi pergi keliling sekolah menenteng beberapa kunci ruang kelas.

Namanya Fadli. Tapi ia dikenal dengan nama Agam. Usianya 31 tahun. Ia anak nomor dua dari pasangan Abdullah dan Salbiah. Di antara lima orang anaknya hanya Agam yang tidak menamatkan sampai jenjang Strata 1. Padahal ketika itu ia sudah semester 6 kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi Unida Banda Aceh.

Anak pertamanya Salmadiana, SH. Ketiga Muhammad Iqbal, ST. Keempat Rahmad Hidayat, SP dan si bungsu Indra Kurniawan sedang skripsi di Fakultas Teknik Unsyiah.

Agam memang tak menjadi sarjana. Tapi, ia setiap hari membantu kelola kantin dan banyak tahu tentang sekolah. Ia bercerita banyak tentang keseharian keluarga dan kehidupannya.

“29 Oktober lalu memang ada 10 siswi kesurupan, di ruang XII A1 itu,”  tutur Agam dengan menunjuk kearah kelas di sebelah kantin.

Kejadiannya tepat hari jumat. Mereka yang kesurupaan berjumlah 10 orang. Semuanya perempuan. Tak tahu asalnya darimana. Tiba-tiba saja para siswi itu menjerit layaknya setan merasuki tubuh masing-masing. Para guru pun memanggilorang pintar melihat keadaan mereka.

Bangunan ini dahulunya merupakan peninggalan Belanda. Tiga gedung utama terletak di depan,  berbentuk serambi dengan 4 buah tiang bergaya Spanyol. Gedung yang berada pada sisi selatan disebut sebagai rumah setan yang dulu di manfaatkan sebagai tempat berkumpulnya ahli telepati. Dan di dalamnya ada terowongan bawah tanah.

“Di dalam gedung depan ada sebuah terowongan, tapi sudah lama tertutup,” kata Agam.

Ia juga bercerita, ketika berusia 15 tahun pernah menemani seorang peneliti sejarah dan benda purbakala dari Jakarta masuk ke terowongan itu. Dulunya ia melihat ada sebuah piano di dalamnya.

Kini, terowongan sudah tertutup dengan kayu. Ruangan pun sudah jarang di buka. Bila hujan tiba, ruangan itu basah dan menimbulkan bau.

Pertama kali mereka menetap di sini, bangunan fisik selain tiga gedung utama, masih menggunakan kayu. Sekitar tahun 1998 banyak direnovasi.

Ternyata, kesurupan bukan saja kali ini terjadi. Sekitar tahun 1995 pernah ada seorang siswi mau lompat dari lantai 2 gedung. Untung saja aksi itu digagalkan oleh guru yang melihat saat itu.

“Pernah sekitar 1995, ada seorang siswi mau lompat dari atas gedung”

Tapi, Agam dan keluarga merasa biasa-biasa saja. Mereka yang sudah 30 tahun lebih menetap di sini, tak pernah diganggu dengan yang katanya setan penunggu gedung.

Rasa penasaran siswa juga pernah dirasakan tahun di tahun 2002. Para siswa-siswa pernah membuat permainan jailangkung  (konon permainan untuk memanggil makhluk gaib-red), tapi tidak juga berjumpa.

Bencana Tsunami yang melanda kota Banda Aceh 2004 lalu juga menjadi kambing hitam peristiwa kesurupan para siswa bulan lalu. Pasalnya di sekitar halaman sekolah ini juga banyak mayat di temukan saat itu.

“Itu kan omongan orang saja, kami yang dari bencana sampai sekarang nggak berpindah dari sini, nggak pernah juga menemukan hal-hal yang aneh”

Saat tsunami, keluarga Agam dan sebagian warga sekitar selamat dari terjangan air. Mereka tertolong karena menaiki lantai 2 gedung tersebut. Fisik bangunan ruang kelas bagian belakang sedikit mengalami kerusakan. Listrik pun tidak berfungsi. Hanya saja saat peristiwa Abdullah berada di Sigli, kampungnya.

Istri dan anak-anak Abdullah yang ada saat kejadian. Tapi mereka tetap tinggal tak ingin pindah dari sekolah ini. Listrik padam dan air sering tersendat-sendat pengeluarannya. Akhirnya 6 bulan setelah tsunami listrik kembali normal.

“Selama 6 bulan setelah tsunami, kami tinggal di sini tanpa listrik, tapi tidak juga menjumpai hal-hal aneh atau ketemu makhluk halus,” jelas Adam.

Gedung yang punya nilai sejarah dan penuh misteri ini juga pernah menjadi sorotan publik saat konflik. Di atas genteng gedung tengah ada sebuah tiang besi. Di tiang itu lah dulunya pernah berkibar bendera GAM.